Higgs Domino Coin(Koin Emas)Top up - Cheap and safe top up only on JollyMax
About Higgs Domino Coin(Koin Emas)Top up
Higgs Domino Coins, also known as Koin Emas, are a form of in-game currency used in Higgs Domino. It would be best if you had coins to play the game and usually, Higgs coin can be obtained through various means within the game, such as winning games, participating in events or you can get the coin when you log in into the game every day. However, purchasing them is a wonderful alternative if you lack the patience to wait that long.
Domino with your family and friends! This is a unique and fun online game with simple gameplay and full of challenges. You can play various games such as Domino Gaple, QiuQiu, Texas Hold'em, Capsa Susun, and more casual games such as Ludo, Chess and Checkers! Higgs will fill up your free time with fun and happiness!
Koneksi internet terhubung kembali
Premium products made from certified 24-carat pure gold with a unique concept. Each coin is meticulously designed, blending art and culture. Focusing on limited editions, Treasury offers certified 24-carat pure gold coins with high intrinsic value.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
RATUSAN keping koin emas kuno peninggalan Kesultanan Aceh ditemukan penduduk di Gampong Pande, Aceh, pada 11 November 2013. Beberapa koin bertuliskan nama Alaudin Riayat Syah Al-Kahar, sultan Aceh, berdampingan dengan Sulaiman I, sultan Ottoman Turki. Penemuan ini bukti penting yang menegaskan hubungan diplomatik antara Aceh dan Ottoman sejak abad ke-16.
Sultan Al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang berasal dari Dinasti Meukuta Alam, dinasti pendiri Kerajaan Aceh. Dia berkuasa antara tahun 1537 sampai 1571. Pada masanya, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Sumatra dan Semenanjung Malaka.
Portugis, yang menguasai Malaka sejak tahun 1511, menjadi rival Aceh dalam meluaskan pengaruhnya di Selat Malaka, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Karena itu, Aceh menjalin kontak dengan Kesultanan Ottoman untuk menjajaki kerjasama menghadapi Portugis.
“Setelah tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya, Kesultanan Ottoman menjelma menjadi tempat bagi kerajaan-kerajaan Islam di Timur (India dan Kepulauan Nusantara) yang baru berkembang menaruh harapan dalam menghadapi Portugis,” tulis Giancarlo Casale dalam The Ottoman: Age of Exploration.
Utusan Aceh kali pertama datang ke Istanbul pada 1562. Mereka meminta bantuan senjata berupa meriam. Terkesan dengan utusan Aceh ini, sultan yang berkuasa saat itu, Sulaiman I, mengirimkan meriam beserta teknisinya serta seorang diplomat bernama Lutfi Bey.
Kedatangan Lutfi Bey ke Aceh menjadi penting karena berdasarkan laporannya, orang-orang Turki menjadi paham posisi strategis Aceh sebagai pusat perdagangan dan garis terdepan umat Islam dalam menghadapi Kristen Portugis di Nusantara. Aceh sendiri antusias menjadi bawahan Kesultanan Ottoman.
“Surat diplomatik yang Lutfi Bey bawa ketika dia kembali ke Istanbul pada 1566, menyatakan bahwa Sultan Al-Kahar tidak lagi ingin sekadar meminta senjata kepada Sultan Sulaiman I. Tidak pula ingin menjalin hubungan politik antar dua kerajaan yang berdiri sama sejajar. Melainkan dia ingin agar dirinya dan negerinya, Aceh, diperintah secara langsung oleh Sultan Sulaiman I sebagai ganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis,” lanjut Casale.
Antusiasme Aceh ditanggapi positif oleh Sultan Sulaiman I sebelum akhirnya dia mangkat dan digantikan Sultan Selim II. Dia memerintahkan angkatan lautnya untuk mengirim armada sebanyak 15 kapal layar ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat militer, teknisi meriam, juga tukang-tukang seperti penambang, pandai besi, dan pandai emas.
Sayangnya, armada yang dijadwalkan tiba di Aceh pada 1568 terpaksa mengalihkan perjalanan ke Yaman, Arab Selatan, untuk memadamkan sebuah pemberontakan. Hanya dua buah kapal yang tiba di Aceh tanpa membawa senjata. Kedua kapal itu membawa sekelompok pedagang dan teknisi meriam, yang tidak cukup untuk memuluskan rencana Sultan Al-Kahar menyerang Portugis di Malaka pada 1570.
Penambangan dan penempaan bijih besi bukan barang baru di Aceh. Sejak zaman Samudra Pasai pada abad ke-14, timah dan emas telah ditemukan, bahkan dijadikan satuan mata uang dengan ukiran nama raja yang berkuasa di kedua sisinya. Mereka menempa mata uang timah yang bernama cash dan mata uang dari emas yang bernama mas. Sistem ini kemudian diadopsi raja-raja Aceh.
Menurut Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Sultan Al-Kahar-lah yang memperkenalkan mata uang Aceh pertama, yakni dirham.
“1 pardew (mata uang Portugis yang ditempa di Goa, India) sama dengan 4 dirham Aceh,” tulis Lombard. “Namun nilai mata uang itu sendiri sering mengalami perubahan yang besar sekali. Para penjelajah selalu memberi nilai yang berbeda-beda, kadang-kadang bahkan dalam jarak waktu yang hanya beberapa bulan.”
Nama Sultan Sulaiman I yang terukir bersanding dengan Sultan Al-Kahar dalam beberapa koin emas Aceh merupakan bukti pengakuan Kesultanan Aceh atas kekuasaan Kesultanan Ottoman sebagai pemegang inti dunia Islam saat itu. Nama Sultan Ottoman juga selalu disebutkan dalam tiap khotbah Jumat.
Belanja di App banyak untungnya: